Penghapusan UN Diwanti Wanti Tak Dipolitisir Untuk Proyek Baru
Penghapusan UN Diwanti Wanti Tak Dipolitisir Untuk Proyek Baru

Penghapusan UN Diwanti Wanti Tak Dipolitisir Untuk Proyek Baru

banner
SUARAKAN.COM : Pemerhati pendidikan yang juga pengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Muhammad Nur Rizal tak mempersoalkan langkah penghapusan Ujian Nasional (UN) yang ditempuh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim.

Namun, Rizal mewanti wanti agar penghapusan UN itu tak  dimanfaatkan dan dipolitisasi untuk melahirkan proyek proyek baru yang mengulang lagi rezim UN.

"Dengan penghapusan UN itu harapan saya kepala daerah sampai kepala dinas punya orientasi sama. Bahwa UN bukan lagi alat ukur kesuksesan politik pendidikan tapi peluang mengetahui proses pendampingan yang harus dilakukan," ujar Rizal Jumat 13 Desember 2019.

Rizal khawatir jika penghapusan UN tidak diikuti dengan perubahan paradigma justru dijadikan alat politisasi yang mengabaikan tujuan yang diharapkan.

Perintis dan pendiri Gerakan Sekolah Menyenangan itu menuturkan paradigma UN yang terbangun selama ini menjadi momok di kalangan guru, orang tua dan juga murid. Seolah seolah proses belajar  ending-nya nilai UN yang baik.

Dengan penghapusan UN, Rizal menilai mulai membuka peluang orientasi belajar yang selama ini hanya terkesan mengejar nilai menjadi berorientasi yang membangun kompetisi dan karakter anak didik.  

Terkait dengan pengganti UN yang oleh pemerintah disiapkan program Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, Rizal menilai tolak ukur ini sebenarnya bukan barang baru. 

Namun sudah diterapkan di sekolah sekolah negara lain seperti Australia. Dalam program itu yang diukur memang bukan nilai seperti UN, melainkan kompetensi, kemampuan bernalar melalui matematika dan literasi, juga survey karakter anak didik. 

Di Australia, ujar Rizal, ia menemukan karakter anak didik diukur bukan dari ulangan atau ujian melainkan survei karakter kepada orang tua. 

Jadi orang tua dan guru mengisi survei sedangkan untuk anak hanya dinilai soal motivasi belajarnya, lalu soal well being-nya, juga bagaimana kondisi mental anak saat berada di sekolah apakah pernah terkena bullying dan sejenisnya yang mengganggu. Target tolak ukur penilaian seperti ini memberi gambaran bagi pemerintah untuk bisa memetakan bagaimana proses pembelajaran di sekolah.

"Tanpa UN begitu, penilaiannya dilakukan tidak di akhir jenjang melainkan di tengah jenjang sehingga hasil itu adalah protret kualitas ekosistem yang terjadi dan negara menjadikannya referensi untuk pendampingan yang dibutuhkan," ujarnya.

Melalui penghapusan UN itu, ujar Rizal, kepala dinas juga kepala sekolah tuntutannya akan bergeser tidak lagi soal angka atau nilai nilai yang diraih anak didik. Melainkan bagaimana anak punya ketrampilan bernalar, problem solving, daya kritis, kreativitas sampai sejauh mana kemampuan anak mengaitkan teks dengan konteks.

"Tapi sekali lagi, jangan sampai penghapusan UN ini jadi lahan proyek baru. Seperti jika selama ini ada bimbel (bimbingan belajar) UN, jangan jangan setelah UN dihapus jadi ada bimbel Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter," ujarnya. (Gilang Persada)

Advertisement banner

Baca juga:

banner
Admin
Fusce justo lacus, sagittis vel enim vitae, euismod adipiscing ligula. Maecenas cursus gravida quam a auctor. Etiam vestibulum nulla id diam consectetur condimentum.